.quickedit{ display:none; }

Jumat, 16 Februari 2018

HIJRAH KE NEGERI KANGGURU [PART II]



Kalau ada yang tanya kesan Aussie pertama apa yang saya dapat ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Melbourne, maka saya akan menjawab dengan tiga hal berikut: semilir angin dingin (udah diceritain di postingan sebelumnya), wangi daun ekaliptus, dan, kangguru!


Kangguru merumput di Woodlands Historic Park

Yap! Benar, saya sudah langsung melihat sekawanan kangguru tak lama setelah mobil airport pick up kami keluar dari area bandara Tullamarine. Belakangan baru saya tahu bahwa tempat yang penuh kangguru itu adalah semacam taman nasional bernama Woodlands Historic Park yang berlokasi tepat bersebelahan dengan bandara. Dan selama dua tahun tinggal di Melbourne, saya berkesempatan mengunjungi taman itu dua kali. Mata saya langsung berbinar-binar, antara senang dan haru, begitu melihat kumpulan kangguru, liar, langsung di benua kangguru di hari pertama saya tiba. Emejing! 

Tak lama berselang kamipun mulai memasuki kawasan pemukiman dan terlihatlah perbedaan mencolok yang kasat mata antara Indonesia dan Australia. Yup! Tata ruang dan bangunan. Saya tidak melihat rumah-rumah mewah khas Indonesia yang seperti istana dengan pilar-pilar tingginya ala sinetron Indosiar di Australia. Tapi saya juga tidak menemukan kawasan marginal sama sekali. Semuanya rata-rata saja. Rumah-rumah lama bergaya Inggris dari batu bata yang disusun rapi mengingatkan saya akan film-film dengan settingan British yang pernah saya tonton. Ternyata di Australia pun seperti itu banget. Ya iyalah! Masak ya iya dong! 

Rapi dan lega
Tata ruang kota yang sangat sangat teratur, lapang dan rapi ini benar-benar membuat saya terkesima. Coba deh lihat di google maps. Dari sana kelihatan kalau kota-kota di Australia didesain seperti kotak-kotak yang sangat rapi. Jalanan dan bangunan dibuat lurus dan sejajar secara akurat mengikuti desain kapling kotak-kotak tersebut. Tujuannya untuk mempermudah pemberdayaan transportasi massal sekaligus mengantisipasi kemacetan parah di masa depan. Kemudian di pinggir kiri dan kanan jalan pasti selalu ada trotoar yang memadai untuk pejalan kaki dan penyandang disabilitas. Hasilnya, selain nyaman dipandang mata, lingkungan yang rapi dan memudahkan ini mendorong kita untuk senantiasa aktif “keluar rumah” baik dengan berjalan kaki maupun berkendara karena tidak terlalu khawatir dengan kemacetan dan keselamatan di jalan. 

Ekaliptus di kanan kiri jalan kompleks perumahan
Satu hal lagi yang akan selalu mengusik memori saya adalah wangi daun ekaliptus. Ya, ekaliptus atau yang biasa disebut gumtree memang tumbuhan endemik Australia. Faktanya, ada sekitar sembilan ratus jenis ekaliptus dengan tampilan dan aroma yang berbeda-beda meskipun tidak semua jenis mengeluarkan bau yang cukup kuat untuk dihidu. Pohon ini tersebar cukup merata di seantero Australia, termasuk di sepanjang pinggiran trotoar perumahan. Wangi tajam menyengat inilah yang langsung memenuhi ruang sensori penciuman saya saat turun dari mobil antar jemput bandara. Baunya agak sedikit berbeda dari bau minyak kayu putih yang biasa kita kenal. Bagi saya, aromanya lebih segar dan menenangkan terutama di pagi hari di musim panas. Kalau ada yang bilang bahwa suatu memori dapat disimpan dan direcall salah satunya melalui sirkuit di indera penciuman, saya setuju. Wangi ekaliptus akan selalu melambungkan memori saya kembali ke tanah Australia. 

Anyway, masih lanjutan dari postingan sebelumnya, penderitaan saya di hari pertama kedatangan ini belum barakhir. Mau tau kisahnya? Simak postingan berikutnya.      

Tidak ada komentar :

Posting Komentar