.quickedit{ display:none; }

Rabu, 01 April 2015

YOUR DREAMS ARE VALID! - traveling edition


Merlion. Singapura
Hampir setiap orang ngakunya punya impian klise jalan-jalan keliling dunia, termasuk saya. Siapa sih yang nggak kepengen melihat dunia ini dengan segala warnanya? Then one day I found myself having deep interest in jalan-jalan  when I was at university. Lebih tepatnya saat hampir selesai kuliah. Soalnya mulai punya banyak waktu (meskipun belum punya banyak uang!). Saat itu, tepatnya September 2009, untuk pertama kalinya secara tidak sengaja saya melihat buku yang sangat menggugah hasrat berpetualang di toko buku Gramedia. And you know what? Four months later after that my dreams came true! Really came true for backpackeran! Sepertinya saya sudah mendahului kata-kata credit Lupita Nyong’O saat dia menang Oscar 2014; your dreams are valid! Halah!
Oke, forget about my kisah-kisah awal of being traveler. Let me tell you this, what type of traveler I am? Dari beberapa sumber yang saya baca, ada sekian macam sebutan untuk seorang pejalan. Traveler, backpacker, turis, dsb, bahkan ada yang mengkombinasikannya seperti travel writer, culinary travel, and so on, what everlah. Nah, sejak dimulainya era booming traveling secara independent oleh masyarakat Indonesia beberapa tahun lalu (pertengahan 2000-an), banyak dari penduduk negeri ini, utamanya generasi muda, yang latah menyebut dirinya sebagai backpacker. Padahal secara harfiah saja, backpacker itu sudah bisa dibayangkan, manggul ransel segede keranda jenazah di punggung dan jalan jauh kayak gembel, tidur entah di mana dan dalam kondisi bagaimana, jauh dari yang namanya perjalanan nyaman, alias antikemapanan. Backpacker lebih kepada eksplorasi, struggling, and challenge yourself by putting yourself outside your comfort zone. What for? To find yourself, gitu kira-kira kata-kata bijaknya. Not just for “likes, loves, and envy or adoring comments” on your sosmed! Jadi yang jalan-jalannya ngalay buat narsis di sosmed doang without realizing how strong you should be, how wise you could be, and how many lessons you could take for, you are not a true backpacker! Tapi bukan berarti backpacker itu mesti selalu me-menderita-kan atau membuat sengsara diri sendiri lho. It's how about how smart and wise you travel independently. Sejauh kamu bisa memanage perjalananmu sehingga bisa dinikmati dengan maksimal dan banyak pelajaran yang bisa dipetik, why not
Masjid Raya Medan
Saya melihat kebanyakan pejalan dari Negara-negara Barat dan Asia Timur lah yang memang memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang what backpacker all about. Mungkin karena tradisi backpackeran ini sudah lama mengakar menjadi budaya mereka sejak jaman jebot, dan sejak usia dini, jadi maknanya masih terjaga. Kalau turis jelas, mereka yang melakukan perjalanan sengaja untuk melihat objek-objek wisata. Nah kalau traveler, pengertiannya lebih luas, pejalan, bisa pejalan apa aja tergantung keperluan masing-masing. Misalnya corporate traveler yg tujuannya buat bisnis, dsb. Belakang muncul istilah “ngebolang” yang diambil dari acara anak si Bolang Bocah Petualang di Trans 7. Somehow istilah ngebolang ini bagi saya cukup make sense. Meskipun tidak ada definisi ilmiah yang pasti, tapi untuk dikatakan salah juga tidak bisa. Intinya ya berpetualang suka-suka jer.
    Sayapun mengakui kalau diri saya bukan backpacker sejati. Jauh malah. Dibilang sering jalan-jalan sih, nggak juga. Memang tak tentu, tapi setahun paling nggak 1 atau 2 kali. Udah ke mana aja? Halah! Masih cetek saya ini, jangan ditanya! Paspor pertama saya yang 48 halaman sudah ekspired saat cap-capnya belum nyampe halaman 10. Itu pun kebanyakan dari negara tetangga yang itu-itu saja. Untuk dalam negeri, hanya 3 pulau yang pernah saya pijak, Sumatera, Jawa, dan Batam. Udah itu aja. Jangan ketawa! Saya sendiri punya tipikal pribadi sebagai seorang traveler. Saya bukan pendaki gunung. Saya suka berenang (tapi nggak pernah diving), tapi juga nggak ngotot harus berenang kalau ketemu laut. Saya malas jalan panas-panas. Saya sangat suka mengunjungi museum dan mempelajari sejarah peradaban tempat yang dikunjungi. Saya senang mencoba kuliner lokal. Tidak terlalu suka masuk ke Theme Park (karena mahal!) kecuali punya banyak wahana-wahana yang keren dan menantang. Saya tidak (terlalu) suka shopping. Saya suka aktivitas sesederhana menyusuri jalan-jalanan kota sembari mengamati dan meresapi atmosfer yang berbeda dan asing.
Monas. Jakarta
Manggul backpack segede bagong? Hhh… males banget sebenarnya. Boleh dibilang saya ini pejalan manja (manjajok!) lol. Ya ada sih backpack 45 liter, itu aja udah bikin pegel linu kalau isinya full meski baru dipanggul sekian menit. Nggak sering dipakai, tergantung lamanya dan model perjalanannya. Kalau lama dan ribet ya mau nggak mau mesti make backpack gede itu. Tapi kalau jalannya nyante meskipun lama, ya lebih pilih pakai koper ganteng. Untuk perjalanan seminggu ringkes, saya cukup pake ransel biasa kapasitas 30 liter, bisa masuk kabin. Wardrobe? Dulu waktu awal-awal saya termasuk cuek. Tapi setelah dilihat-lihat kok fotoan dengan kaos yang sama berulang-ulang nggak keren ya? Jadilah saya mulai memikirkan style biar bisa punya fotofolio yang mendingan. Mulailah saya bawa kemeja yang rapi, batik yang kece, sweater yang modisan. Memang sedikit merepotkan, tapi demi gaya, halah!
Nginep di mana? Oke, dulu awal-awal jalan saya masih ogah nginep rame-rame di kamar dormitory. Saya masih strict soal privasi. Jadinya saya selalu memilih kamar single. Tapi dipikir-pikir kok ya agak boros dan kesepian ya. Akhirnya suatu ketika saya beranikan untuk tidur di dorm. Well, tenyata fine-fine aja tuh. Malah saya senang karena selalu dapat teman baru. Kadang dapat teman yang sama begundal dan noraknya itu bikin perjalanan tambah seru. Meskipun demikian, tetap ada sisi ketidaknyamanannya. Orang bilang capek bertoleransi, seperti kamar yang super sempit, susahnya mau sholat, kawan sekamar yang berisik, yang baru pulang dini hari, yang ngantre kamar mandi, yang digabung cowok-cewek, yang diam-diam bawa cewek ke kamar, rebutan colokan listrik, sungkan mau makan dan jorok-jorok-an, dan lain-lain. Banyak deh. Lalu bagaimana saya menyiasatinya? Kalau masalah yang lain saya masih bisa toleran. Tapi kalau soal sholat, saya baru akan menginap di dorm bila saya bisa menemukan masjid/musholla di sekitar penginapan. Sementara untuk sholat subuh saya cuek saja sholat di kamar karena hampir dapat dipastikan kawan sekamar pada molor saat jam subuh.
Salah satu gaya andalan
Cara jitu lain yang pernah saya coba untuk mendapatkan kenyamanan menginap tapi tetap dengan harga murah adalah dengan trial and error menggeret kawan nemu di jalan untuk sharing cost to stay together di kamar double atau twin. Dengan begini, privasi kita lebih terjaga, lebih nyaman, tidak terlalu rempong bertoleransi, dan tetap hemat tentunya. Pernah lho waktu di Hanoi saya nginep di kamar hotel, berdua dengan turis Jepang yang ketemu secara tidak sengaja di jalan. Seruuu….banget! Dengan masing-masing membayar setengah, kita sudah dapat kamar hotel yang lega dan lumayan mewah untuk ukuran backpacker. Karena cuma berdua, masing-masing kita pun cuek tanpa perlu capek bertoleransi. Saya cuek sholat, dia pun cuek saja mabok di malam hari. Asyik bukan.
Anyway, mau bagaimanapun gaya berjalan kamu, itu adalah hak kamu sepenuhnya. Jangan sekali-sekali terpengaruh orang lain atau apa yang terlihat sebagai sebuah mainstream. Be yourself! Kalau kamu memang bukan seorang pendaki gunung, jangan paksakan diri ngos-ngosan mau mampus hanya gara-gara artis favorit kamu Pevita Pearce dan Raline Shah nangkring di puncak Mahameru. Kalau kamu nggak jago berenang (apalagi diving!), jangan paksakan diri bersusah-susah dan bermahal-mahal ke Raja Ampat hanya karena kawan kamu posting gambar di instagram dia lagi bercengkrama dengan anak hiu dengan capture “You should be here!”. Awas, kalimat “you should be here” yang secara tidak sadar banyak diucapkan itu jangan ditelan bulat-bulat! Kalau kamu misalnya memang lebih senang jalan-jalan ke desa yang sederhana untuk sekadar leyeh-leyeh dan itu membuatmu bahagia, why not? Atau kalau kamu senangnya jalan-jalan untuk berburu kuliner, fotografi, shopping, belajar seni dan sejarah, dsb, tidak ada yang salah dengan itu. As long as you are happy dan ada pelajaran berharga yang bisa kamu petik agar hidupmu menjadi lebih baik, maka itulah traveling untuk dirimu. Berjalanlah menuju impianmu sendiri, dengan caramu sendiri. Then you’ll find yourself. Happy traveling.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar