.quickedit{ display:none; }

Sabtu, 17 Februari 2018

HIJRAH KE NEGERI KANGGURU [PART III]

Dalam kondisi badan yang tidak fit, lelah karena perjalanan panjang, perut keroncongan, ditambah cuaca dingin, saya adalah penumpang terakhir yang diantar menuju penginapan sementara oleh airport pick up kami. Turun dari mobil untuk mengambil koper, jantung saya seketika langsung mau copot begitu melihat koper yang tersisa bukan milik saya. Deg!
Oh...nooooo..........Tidaaakkkkkkk. Pasti salah seorang di antara teman saya ada yang salah mengambil koper. Well, kalau dilihat-lihat, koper yang tersisa itu memang mirip dengan punya saya. Lah tapi kan ada name tag dan pita berwarna yang menjadi pembeda. Piye toh?! Lalu saya lihatlah milik siapa sesungguhnya koper yang tersisa ini karena kemungkinan besar dialah orang yang salah mengambil koper. Ternyata milik mbak D. Saya maklum, kita sama-sama sudah lelah dan butuh aqua, jadi sudah tidak konsentrasi lagi mungkin. Syukurnya supir punya catatan alamat kita masing-masing. Jadilah kita meluncur kembali ke rumah mbak D untuk menukar koper cinta yang tertukar. 

Tapi ternyata masalah belum selesai.

Tipikal rumah sederhana di Australia
Berkali-kali saya tekan bel dan bahkan berteriak memanggil mbak Des. Tidak ada jawaban. Di telpon atau sms tidak mungkin karena kita baru saja sampai, belum punya kartu lokal dan sama sekali belum bisa berkomunikasi. Saya mulai gusar. Supirpun mulai terlihat tidak sabar. Hfff.... saya nyerah. Si supir akhirnya ngomong, “Maaf, tapi saya harus balik ke bandara untuk menjemput penumpang lain. Begini saja, sekarang kan kamu sudah tau rumahnya. Saya antarkan kamu balik ke rumahmu dulu. Nanti kalian saja yang mengurus masalah koper ini. Bisa kan?” Saya tidak punya pilihan lain. 

Padahal itu satu-satunya koper yang saya bawa. Saya nggak bisa ngapa-ngapain kalau belum membuka koper itu minimal untuk sikat gigi dan cuci muka. Kok bisa ya mbak D nggak ngeh gitu dan kenapa pula dia tidak berada di rumah padahal dia juga abru nyampe? Ya Allah... gini amat ya. Udah badan meriang kepala nyut-nyutan, capek, lapar, kedinginan, belum bisa berkomunikasi sama sekali, eh ditambah lagi masalah koper yang ketuker ini. Komplit dah! Akhirnya, karena sudah sangat lelah dan tak mau ambil pusing lagi, siang itu saya pun langsung tepar di kamar kosan.

Saya terbangun saat hari sudah sore. Udara semakin dingin. 17 derajat celcius. Saat itu roommate saya, mas R, yang juga mahasiswa dari Indonesia baru saja pulang dari kampusnya di RMIT. Saya menceritakan apa yang saya alami. Berkat dia akhirnya saya bisa terhubung dengan wifi di apartemen dan berkomunikasi dengan mbak D via Whatsapp. Ternyata, begitu sampai di rumah siang tadi, mbak D langsung diajak roomatenya keluar untuk makan siang dan berkeliling kota tanpa sempat membuka koper terlebih dahulu. Pantesaaannn...!! Hiks. Mas R pun akhirnya bersedia untuk menemani saya kembali ke rumah mbak D untuk menukar koper setelah sholat maghrib. Tapi karena saat itu sedang musim panas, maghribnya baru jam 9 malam. Duh... 

Melbourne cbd dengan lalu-lintas tram yang sibuk
Malam itu, dengan susah payah, untuk pertama kalinya saya pun naik tram sambil menggotong koper. Sebelumnya saya sudah memiliki kartu Myki, kartu yang digunakan untuk menaiki moda transportasi umum di Victoria, pemberian teman sewaktu masih di Indonesia. Jujur saat itu saya masih belum mengerti bagaimana kartu ini bekerja, di mana dan bagaimana cara untuk menambah deposit serta memilih paketnya. Apesnya, kartu itu tidak memiliki deposit sama sekali sementara saya sudah terlanjur berada di dalam tram. Saya deg-degan kalau-kalau ada petugas pemeriksa dan menemukan kartu saya tidak valid lantas menilang saya. Kan nggak lucu! Syukurlah semua aman-aman saja.

Tapi yang bikin tambah jiper adalah suhu yang semakin ngedrop, 10 derajat celcius plus angin dingin sementara saya hanya mengenakan sweater tipis. Turun dari tram saya benar-benar menggigil. Hei... ini summer lho. Ya Allah.... saya bener-bener di syok therapy di hari pertama saya tiba. Harapan saya untuk mendapatkan perjalanan mulus cuma angan-angan. Bayangan saya akan summer yang hangat juga buyar begitu mendapati kenyataan bahwa di Melbourne, musim panas sekalipun terasa jauh lebih dingin daripada di Pekanbaru. Tubuh saya perlu beradaptasi dengan kondisi cuaca seperti ini. 

University square Melbourne University
Keesokan paginya, masih dengan cuaca dingin 16 derajat celcius (rupanya dalam beberapa hari itu memang sedang dalam gelombang dingin) dan kondisi badan tidak fit, saya dengan sotoynya jalan kaki ke Parkville campus Unimelb selama 45 menit untuk mengikuti orientasi kampus hari pertama. Hari itu, Jumat, adalah puncak di mana badan saya benar-benar sakit, lemes, sakit kepala hebat dan meriang. Sepulang dari kampus, saya buka baju, dan terlihatlah sekujur badan mulai dari leher sampai paha penuh dengan bintik-bintik merah. Deg! Campak! 

Well, kedatangan dan hari-hari awal saya di Melbourne memang tidak mulus. Nggak ada seorangpun yang berharap kejadian yang saya alami terjadi pada mereka. Tapi inilah yang harus saya hadapi. Hikmahnya, saya belajar untuk lebih bersabar dan kalem sekalipun di moment krusial di mana mungkin saya bisa larut dalam euforia. Dan tentunya, saya jadi punya bahan menarik untuk diceritakan because normal thing is so boring! Hehehe...   


Jumat, 16 Februari 2018

HIJRAH KE NEGERI KANGGURU [PART II]



Kalau ada yang tanya kesan Aussie pertama apa yang saya dapat ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Melbourne, maka saya akan menjawab dengan tiga hal berikut: semilir angin dingin (udah diceritain di postingan sebelumnya), wangi daun ekaliptus, dan, kangguru!


Kangguru merumput di Woodlands Historic Park

Yap! Benar, saya sudah langsung melihat sekawanan kangguru tak lama setelah mobil airport pick up kami keluar dari area bandara Tullamarine. Belakangan baru saya tahu bahwa tempat yang penuh kangguru itu adalah semacam taman nasional bernama Woodlands Historic Park yang berlokasi tepat bersebelahan dengan bandara. Dan selama dua tahun tinggal di Melbourne, saya berkesempatan mengunjungi taman itu dua kali. Mata saya langsung berbinar-binar, antara senang dan haru, begitu melihat kumpulan kangguru, liar, langsung di benua kangguru di hari pertama saya tiba. Emejing! 

Tak lama berselang kamipun mulai memasuki kawasan pemukiman dan terlihatlah perbedaan mencolok yang kasat mata antara Indonesia dan Australia. Yup! Tata ruang dan bangunan. Saya tidak melihat rumah-rumah mewah khas Indonesia yang seperti istana dengan pilar-pilar tingginya ala sinetron Indosiar di Australia. Tapi saya juga tidak menemukan kawasan marginal sama sekali. Semuanya rata-rata saja. Rumah-rumah lama bergaya Inggris dari batu bata yang disusun rapi mengingatkan saya akan film-film dengan settingan British yang pernah saya tonton. Ternyata di Australia pun seperti itu banget. Ya iyalah! Masak ya iya dong! 

Rapi dan lega
Tata ruang kota yang sangat sangat teratur, lapang dan rapi ini benar-benar membuat saya terkesima. Coba deh lihat di google maps. Dari sana kelihatan kalau kota-kota di Australia didesain seperti kotak-kotak yang sangat rapi. Jalanan dan bangunan dibuat lurus dan sejajar secara akurat mengikuti desain kapling kotak-kotak tersebut. Tujuannya untuk mempermudah pemberdayaan transportasi massal sekaligus mengantisipasi kemacetan parah di masa depan. Kemudian di pinggir kiri dan kanan jalan pasti selalu ada trotoar yang memadai untuk pejalan kaki dan penyandang disabilitas. Hasilnya, selain nyaman dipandang mata, lingkungan yang rapi dan memudahkan ini mendorong kita untuk senantiasa aktif “keluar rumah” baik dengan berjalan kaki maupun berkendara karena tidak terlalu khawatir dengan kemacetan dan keselamatan di jalan. 

Ekaliptus di kanan kiri jalan kompleks perumahan
Satu hal lagi yang akan selalu mengusik memori saya adalah wangi daun ekaliptus. Ya, ekaliptus atau yang biasa disebut gumtree memang tumbuhan endemik Australia. Faktanya, ada sekitar sembilan ratus jenis ekaliptus dengan tampilan dan aroma yang berbeda-beda meskipun tidak semua jenis mengeluarkan bau yang cukup kuat untuk dihidu. Pohon ini tersebar cukup merata di seantero Australia, termasuk di sepanjang pinggiran trotoar perumahan. Wangi tajam menyengat inilah yang langsung memenuhi ruang sensori penciuman saya saat turun dari mobil antar jemput bandara. Baunya agak sedikit berbeda dari bau minyak kayu putih yang biasa kita kenal. Bagi saya, aromanya lebih segar dan menenangkan terutama di pagi hari di musim panas. Kalau ada yang bilang bahwa suatu memori dapat disimpan dan direcall salah satunya melalui sirkuit di indera penciuman, saya setuju. Wangi ekaliptus akan selalu melambungkan memori saya kembali ke tanah Australia. 

Anyway, masih lanjutan dari postingan sebelumnya, penderitaan saya di hari pertama kedatangan ini belum barakhir. Mau tau kisahnya? Simak postingan berikutnya.