.quickedit{ display:none; }

Rabu, 05 Juli 2017

KILAS BALIK TERBANG DI TAHUN 2016

Jam kuntilanak low-cost airline
Penerbangan perdana di tahun 2016 adalah salah satu penerbangan paling bersejarah dalam hidup saya. Pasalnya, rangkaian tiga penerbangan beruntun mengantarkan saya merah mimpi untuk menempuh pendidikan di negeri kangguru selama 2 tahun. Selain penerbangan dengan “spesial purpose” ini, saya juga mencatatkan banyak rekor lain di antaranya terbang perdana dengan beberapa maskapai dan jenis pesawat tertentu. Penasaran seperti apa lengkapnya catatan penerbangan saya sepanjang tahun 2016? Berikut ulasan lengkapnya.

Ada total 17 penerbangan yang saya bukukan di tahun 2016. Sebagian besar adalah penerbangan domestik di Australia dengan maskapai setempat. Karena alasan kepindahan inilah saya untuk pertama kalinya mencicipi maskapai Qantas, Jetstar Australia, Tiger Australia, dan Virgin Australia. Menurut saya, tidak ada yang spesial dari maskapai-makapai ini. Pelayanan dan kondisi kabin masuk dalam kategori standar, tidak wah tapi juga tidak mengecewakan. Untuk low-cost airline Australia, kebanyakan pesawatnya juga jenis standar Airbus A320 berkapasitas 180 tempat duduk. Yang saya catat, harga tiket pesawat untuk low-cost airline di Australia sungguh benar-benar bikin mupeng. Meskipun tidak pernah benar-benar murah, mereka konsisten menggelar promo sepanjang musim yang menyebabkan kita kepingin sering jalan-jalan kapanpun dan ke manapun di Australia. Dari kota tempat tinggal saya yang strategis, Melbourne, tiket ke Sydney, Tasmania, dan Adelaide yang masing-masing hanya berjarak lebih kurang 1 jam penerbangan bisa didapat seharga 30 dollar Aussie ( 300 ribu rupiah) saja saat promo.
                 
Selalu nyaman transit di SIN
Di pertengahan tahun, saya mudik lebaran dan untuk pertama kalinya juga saya naik Air Asia X dengan pesawat wide body-nya Airbus A330-300 berkapasitas 377 penumpang dengan rute Melbourne-Kuala Lumpur.  Saat balik, saya mengambil maskapai dan rute berbeda yang lagi-lagi pertama kalinya bagi saya, yakni Malindo tujuan Kuala Lumpur-Perth. Cukup mengejutkan bahwa, meskipun dengan pesawat narrow body (Boeing 737-800), Malindo mampu memberikan pengalaman terbang yang berkesan. Lima jam terbang di pagi hari (jam terbang menarik) ditempuh dengan pelayanan full service yang cukup memuaskan, yakni bagasi included, makanan on board, AVOD, plus selimut. Saya jadi berpikir untuk naik Malindo lagi di lain kesempatan. Banyak yang bilang Malindo serupa dengan Batik Air yang belum pernah saya coba. Sampai akhirnya di akhir tahun 2016 itu, saya yang sudah lama penasaranpun mencoba terbang dengan Batik Air. Mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi terhadap Batik, tapi kalau boleh jujur, Garuda masih lebih nyaman.

SQ punya banyak pesawat segadang gedabak
Berikutnya, di akhir tahun ini juga saya mudik untuk kedua kalinya memanfaatkan reunion airfare dari sponsor beasiswa. Kali ini benar-benar rekor besar buat saya karena untuk pertama kalinya saya terbang dengan maskapai terkenal Singapore Airlines lengkap dengan pesawat segadang gedabaknya Airbus A380-800 berkapasitas 441 tempat duduk. Sesampainya di Changi, penerbangan dilanjutkan dengan maskapai Silk Air (anaknya Singapore Airlines) menuju Pekanbaru dengan pelayanan full service. Inipun maskapai yang baru pertama kali saya coba. Menang banyak deh pokoknya. Selain wide body-nya SQ dan Air Asia X, wide body lain yang saya coba adalah Qantas penerbangan Jakarta-Sydney dan Sydney-Melbourne di awal kedatangan saya ke Australia, keduanya dengan pesawat berjenis Boeing 330-200 berkapasitas 239 tempat duduk. Yang saya suka dari pesawat tipe ini adalah formasi tempat duduk 2-4-2 pada kabin ekonominya. Formasi ini membuat penumpangnya tidak ada yang “kejepit”.

Motonya: memanusiakan manusia (SIN)
Saat balik sehabis liburan saya kembali menggunakan rute yang sama yakni Pekanbaru-Singapore dengan Silk Air (pesawat Airbus A320) dan dilanjutkan dengan SQ (kali ini dengan pesawat super lonjong Boeing 777-300 ER berkapasitas 264 tempat duduk) menuju Melbourne. Tapi saya balik di Febuari 2017, jadi penerbangan ini sudah tidak masuk lagi catatan 2016. Tak pe lah. Ada perbedaan rasa yang saya catat, yakni saat terbang dari Melbourne ke Singapura, pelayanannya biasa saja. Tetapi saat balik (terbang dari homebase-nya di Singapura) barulah saya merasakan service SQ yang benar-benar patut diacungi jempol. Ada cacatan menarik setiap saya transit di Singapura. Dengan waktu transit yang hanya 5,5 jam, saya bela-belain nekat keluar imigrasi buat kabur ke pusat kota hanya untuk makan enak di daerah Bugis. Syukurnya MRT di Singapura predictable sehingga saya tidak khawatir tertinggal pesawat. Demikianlah rekam jejak penerbangan saya di tahun 2016. Perjalanan di tahun 2017 sudah dimulai di Januari 2017, perjalanan balik, dan liburan musim panas di Australia di bulan Febuari, and.... penerbangan-penerbangan selanjutnya yang siap membawa saya entah kemana. Nanti kalau ada kesempatan saya juga akan menyajikan rekapitulasi penerbangan 2017. In thrust we trust!