.quickedit{ display:none; }

Senin, 06 April 2015

JALAN-JALAN KE HONG KONG, SHENZHEN, DAN MACAU (PART II)

MENYUSUN RENCANA PERJALANAN


Sumber rujukan
Setelah tiket pesawat di tangan, langkah selanjutnya adalah mencari info lebih lanjut untuk urusan penginapan, transportasi, makanan, wahana, dan apa-apa saja yang akan dikunjungi, yang semuanya bermuara pada finalisasi itinerary dan budget. Ada tiga buku yang menjadi bahan rujukan saya yakni “2 Juta Keliling Macau, Hong Kong, dan Shenzhen”-nya Claudia Kaunang, “Wisata Hemat Hong Kong – Panduan Perjalanan Independen, Irit, dan Nyaman ke Hong Kong”-nya Agung Basuki, serta “Hong Kong - Step by Step” dari Insight Guides. Ketiga buku ini sangat membantu saya dalam menyusun itinerary dengan kelebihannya masing-masing. Claudia Kaunang menonjolkan sisi personal experience –nya sebagai pejalan independen dengan “rasa Indonesia”. Agung Basuki memberikan penjelasan cukup rinci soal transportasi dan wahana. Sedangkan Insight Guides membantu saya membuat rute-rute jelajah jalan kaki di kota Hong Kong (aktivitas yang sangat saya senangi) dari sudut pandang orang Barat. Ketiga sumber di atas sangat recommended. Selebihnya saya mengandalkan browsing di internet dengan melihat berbagai website dan blog-blog orang yang telah melakukan perjalanan serupa. Tapi perjalanan masing-masing kita sendiri tentunya bersifat personal. Jadi silakan ramu dan ciptakan formula itinerary Anda sendiri dengan merujuk sumber-sumber di atas.
Beginilah kondisi gedung penginapan
Saya cukup kaget saat mengetahui harga penginapan di Hong Kong cukup mahal untuk ukuran standar minimal (bahkan mungkin jelek) bagi backpacker. Pada awalnya saya menganggarkan 4 juta rupiah untuk budget penginapan selama 14 hari perjalanan tetapi mengalami revisi menjelang keberangkatan dan bahkan saat “on the spot”. Biaya konsumsi, transportasi, dan wahana-wahana ternyata nyaris di luar dugaan semua (baca; lebih mahal dari perkiraan). Setelah menjalani semuanya, saya berkesimpulan telah terjadi peningkatan biaya-biaya (terutama wahana) dari apa yang menjadi sumber rujukan saya. Macau adalah yang paling meleset segala-galanya sementara Hong Kong cenderung stabil. Shenzhen mengalami kenaikan biaya wahana meskipun dalam hal-hal lain terhitung paling murah dibanding Hong Kong dan Macau. 
Yang tersisa. Hiks
Pada akhirnya saya menghabiskan sekitar 9 juta selama perjalanan. Tapi itu sebenarnya masih bisa jauh ditekan karena saya belanja oleh-oleh cukup banyak di Kuala Lumpur (baca: cokelat, upss) dan souvenir di Hong Kong yang overbudget, yang keduanya memakan biaya sekitar 1,5 juta. Belum lagi dana makanan yang juga overbudget karena saya nggak tahan nggak nyobain beragam kuliner Hong Kong yang wuenaakkk! (tapi mahal!). Saya juga kalap makan di KL sebagai aksi balas dendam (hehehe). Ditambah pengeluaran di Macau yang meleset karena perencanaan yang kurang matang plus belanja-belanja yang nggak penting, maka ada sekitar 2 jutaan pengeluaran yang di luar rencana. Tapi nggak papalah…anggap saja saya lagi indulge myself karena saya lagi ultah, hahaha. Next time harus lebih ketat lagi mengatur dan mengeksekusi budget!
Penawaran menarik. Source: booking.com
Untuk mencari dan membooking penginapan, saya mengandalkan situs booking.com. Situs friendly user ini cukup menyenangkan bagi saya dibanding situs sejenis. Dengan situs ini kita bisa “icak-icak” booking tanpa perlu membayar apapun terlebih dahulu sampai batas waktu tertentu (beberapa bookingan bahkan memang bebas biaya tanpa kartu kredit dan cukup bayar di tempat). Meskipun beberapa bookingan meminta rincian kartu kredit sebagai jaminan, tapi pada praktek “ngibul”nya cukup hanya dengan memasukkan nomor kartu debit, biasanya tidak diverifikasi lebih lanjut. Sehingga kita cukup aman untuk membatalkan bookingan tanpa ditarik biaya. Trik (sesat) ini saya pelajari dari hasil blogwalking beberapa tahun yang lalu. Meskipun demikian, belajarlah untuk bertanggung jawab. Bila memang berencana membatalkan bookingan, segera batalkan dan informasikan penginapan yang bersangkutan. Kelebihan lainnya di situs ini adalah adanya diskon besar untuk member yang telah beberapa kali melakukan booking sehingga untuk bookingan selanjutnya kita akan mendapatkan penawaran harga yang menarik. Meskipun demikian, sama halnya dengan situs lain, cukup sulit mencari penginapan murah di beberapa kota termasuk Hong Kong dan Macau yang tersedia di situs ini, walaupun pada kenyataannya di lokasi, penginapan yang murah itu cukup banyak tersedia.
Not really bad lah
Setelah beberapa kali merombak bookingan, akhirnya saya memilih penginapan di tempat paling legendaris sejagat Kowloon Hong Kong, Chungking Mansion (CM) (MTR Tsim Sha Tsui/TST). Meskipun Mansion ini paling apalah-apalah… apa boleh baut, tidak ada pilihan lain karena di sinilah penginapan paling murah yang berhasil saya temukan. Hiks. Untuk first entry Hong Kong, semula saya akan menginap di HK Downtown Backpackers (juga di CM) seharga HKD 489 (Rp 821.000, belum termasuk biaya layanan 10%) untuk kamar single selama 3 malam. Sebenarnya penginapan ini cukup baik karena begitu saya booking, website guest house langsung mengirimkan e-mail konfirmasi dengan rincian cara menuju GH mereka mengingat CM cukup “horor”. Tapi setelah dilihat-lihat kembali review dan reputasi GH ini (hanya mendapat skor 4,9) di booking.com serta pertimbangan budget untuk lebih berhemat, akhirnya saya urung dan membatalkan menginap di sana. Karena masih dalam batas waktu yang diperbolehkan untuk membatalkan bookingan, maka tidak ada biaya pembatalan. Masih di CM, akhirnya saya memutuskan untuk menginap di kamar dorm dengan skor yang lebih baik (7,1) dan harga lebih hemat tentunya di Germany Hostel (HKD 387 all in untuk 3 malam).

Lumayan murah untuk ukuran Hong Kong
Untuk second entry HK (sepulang dari Shenzhen) saya membooking Tai An Guest House, Alhambra Building (stasiun MTR Jordan atau Ya Mau Tei) dengan alasan ganti suasana. Tarifnya HKD 590 (Rp 991.000) all in untuk male dormitory room selama 4 malam. Saya mempunyai plan mencari alternatif penginapan untuk second entry saat first entry di Hong Kong secara on the spot. Jadi bila menemukan penginapan yang lebih baik lokasi, suasana dan harganya, maka saya akan membatalkan bookingan di Tai An GH. Lucunya, saya memutuskan untuk kembali menginap di Germany Hostel di second entry karena terlanjur suka dan harga yang sangat murah (HKD 416 (Rp 699.000) all in untuk 4 malam (lagi-lagi) di kamar dorm, lumayan bangetkan untuk berhemat!). Pertimbangan lainnya karena di CM ini gampang mencari makanan halal dan posisinya sangat strategis, dekat dengan masjid, stasiun MRT TST, mall-mall, pelabuhan ferry, dan Victoria Harbour. Semuanya dalam jarak jalan kaki yang dekat. Sementara saya berpikir Tai An relatif jauh dari mana-mana.
Sialnya, saat saya kembali membooking di Germany Hostel, waktu untuk free cancelation di Tai An sudah habis meskipun masih 4 malam sebelum hari H saya menginap di Tai An! Tapi seperti trik “icak-icak” booking yang saya jelaskan di atas, tidak ada biaya yang (bisa) ditarik sama sekali. Coba kalau yang saya masukkan kartu kredit, maka HKD 590 itu sudah masuk ke tagihan saya. Sejujurnya saya menjadi tidak enak. Saya jadi deg-degan. Saat perjalanan dari Hong Kong menuju Shenzhen, beberapa kali handphone saya berdering dari nomor yang tidak saya kenal yang saya pikir (saking parnonya) dari pihak Tai An untuk konfirmasi dan klaim. Tapi saya cuekin saja. Cemas juga. Syukurlah akhirnya tidak ada masalah apa-apa. Hahaha…. jangan dicontoh ya. Lain kali pasti-pasti aja kalau booking meskipun trik “icak-icak” booking ini bisa dilakukan.
I think this is the best during my trip
Di Shenzhen saya mendapatkan penginapan yang cukup murah 130 Yuan (Rp 268.135) untuk 2 malam di kamar male dormitory di Shenzhen Beyond the Clouds Youth Hostel di Futian distrik. Lokasinya sangat strategis karena sangat dekat dengan stasiun MRT Gangxia (Luobu Line). Sementara di Macau (sialnya) saya tidak melakukan booking dan mencari penginapan secara go show di sekitar area Senado Square (Rua da Felicidade) dengan asumsi ada beberapa penginapan murah di sana. Hal ini akhirnya menjadi masalah di Macau karena waktu dan tenaga saya habis untuk muter-muter mencari penginapan yang akhirnya dapat yang tidak murah. Hiks. Pesan saya, lakukanlah booking lebih dulu agar tidak mengalami kesulitan seperti yang saya alami. Untuk dua malam terakhir di KL, saya menginap di Marquee Guest Houzz di lokasi yang sangat strategis tepat di sebalah Central Market dan hanya beberapa langkah dari stesen Pasar Seni. Harga yang didapat juga sangat murah yakni RM 46 untuk dua malam di kamar dorm yang sangat nyaman. Selain booking.com, ada banyak situs sejenis lain yang bisa dijajali seperti agoda.com, hostelworld.com, hostelbookers.com, asiatravel.com, airbnb.com, wego.co.id, tripadvisor.com, dan masih banyak lagi kalau kita mau sabar menjajal.
Tidak ada badak kopi, tidak bagus!
Selain soal penginapan, saya juga menyusun anggaran makan dan transportasi. Untuk 12 hari di China, semula saya menganggarkan biaya konsumsi Rp 100.000 per hari. Ternyata tidak cukup! Terutama di Hong Kong yang sekali makan berat minimal HKD 30 atau sekitar Rp 50.000, apalagi saya banyak jajan di luar menu berat. Tapi di Shenzhen cukup murah dan bisa berhemat. Harga seporsi nasi dengan lauk atau mie-miean khas Xinjiang di restoran muslim harganya 12-18 Yuan atau sekitar Rp 24.000-Rp 36.000. Murah banget untuk ukuran makan enak, halal, dan porsi yang kurang ajar banyaknya! Sementara di Macau saya tidak ketemu nasi karena memang agak susah mencari makanan halal dan murah. Satu kali makan di restoran muslim Xinjiang dengan menu mie khas Xinjiang seharga MOP 60 (sekitar Rp 100.000), selebihnya saya hanya mengandalkan chicken kebab Persia halal seharga 28 MOP (sekitar Rp 46.000) dan beberapa buah egg tart untuk sarapan dan camilan dari beberapa Pastelaria. Harga satu egg tart rata-rata MOP 8-9 (Rp 13.000-14.000an). Di Kuala Lumpur saya melampiaskan hasrat makan nasi dan aneka kuliner khas Melayu karena sudah 3 hari terakhir tidak ketemu nasi selama di Macau. Rata-rata makan berat di KL sekitar RM 6-9 (Rp 22.000-Rp 32.000) di Food Court Suria KLCC. Cukup murah dan enak banget! Sementara untuk jajanan goyang lidah di luar makanan berat saya mencoba es krim, jus, buah-buahan, teh dan kopi kaleng/kotak, dim sum, aneka gorengan, sate-satean, cake, sushi, dan ngafe beberapa kali buat ngupi-ngupi (saya kopi addict!). Beberapa kali saya juga membeli air mineral yang harganya tidak murah selama di China.
Beuuhhh... #lap iler

Dipersilakan kalap!

Mana boleh tahaaannnn.....
At least masih bisa dipakai kalau balik ke SZ
Di Hong Kong saya menggunakan kartu Octopus Card yang bisa digunakan untuk beragam moda transportasi (MTR, bus, tram, ferry) dan banyak pembayaran lainnya. Total biaya yang saya habiskan untuk Octopus sebesar HKD 250 dengan beberapa kali isi ulang. Di Shenzhen saya juga menggunakan Octopus Tong Card Shenzhen yang sialnya tidak bisa direfund!!!! Arrgghh…kesel banget, 100 Yuan harga kartu atau setara Rp 200.000 hilang begitu saja! Nggak canggih banget nih! Pesan moral; jangan pake Octopus Tong Card Shenzhen selama metode ini belum bisa refund! Lebih baik beli single journey tiket saja setiap kali naik MRT atau bus. Di Macau saya memanfaatkan free shuttle bus dari beberapa hotel dan juga bus kota yang cukup murah. Di KL, LRT jadi pilihan paling pas karena penginapan dan daerah yang saya tuju dekat dengan stasiun LRT. Selebihnya saya mengandalkan moda transportasi alami; kaki! Wkwkwk…. Seperti setiap kali jalan-jalan, siap-siap saja untuk jalan kaki sampai gempor! Lol.
Okehh…nantikan postingan saya selanjutnya yaaaa…. BERSAMBUNG.
 


Kamis, 02 April 2015

JALAN-JALAN KE HONG KONG, MACAU, DAN SHENZHEN (PART I)


SELAYANG PANDANG
  
Avenue of The Stars Hong Kong
    Sudah lama saya berkeinginan untuk megunjungi negara-negara SAR (Special Administrative Region) seperti Hong Kong dan Macau serta SEZ (Spesial Economic Zone) yakni Shenzhen di China Selatan. Bahkan ketika buku “2 juta Keliling Macau, Hong Kong, dan Shenzhen”-nya Claudia Kaunang terbit di awal 2010, keinginan itu sudah cukup kuat. Tapi apa daya, saya harus cukup sabar menanti hingga akhirnya kesempatan itu benar-benar terwujud di bulan Maret 2015. Ternyata kesabaran saya berbuah manis, bukan hanya sekedar terwujud, tapi it happens when everything’s perfect! Saat saya di bulan Maret itu sudah resign dari kerjaan dan akan pindah ke Jakarta di bulan April. Saat saya akhirnya dapat beasiswa ke luar negeri. Saat cuaca di awal musim semi yang sejuk dan bunga bermekaran. Dan lebih istimewa lagi karena saya akan berulang tahun saat traveling kali ini. Oh my God, what a wonderful life, I am very blessed! Lalu, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? Karena itu, saya percaya, teruslah menghidupkan impian kita, dekatkanlah ia dengan doa dan usaha, jatuh bangun biasa, lalu lihatlah betapa menakjubkannya Allah SWT menjawab mimpi-mimpi kita itu. So keep dreaming and keep going guys!
source: www.cosmic-pearl.com
         Jika dilihat di peta, negara-negara SAR yang mini ini terletak relatif cukup jauh dari Indonesia. Ukuran jauh menurut saya bila waktu terbang sudah lebih dari tiga jam di mana kebosanan, kelelahan dan keroncongan biasanya mulai melanda. Jarak yang relatif jauh juga biasanya berkorelasi dengan harga tiket pesawat yang sudah tidak bisa murah lagi, sehingga banyak budget traveler kere seperti saya yang urung dan memaksukkan negara SAR dalam daftar “nanti-nantilah” bucket list mereka. Ditambah lagi dengan image Hong Kong sebagai negara mahal dan elit, makin-makinlah enggan untuk pergi ke sana. Tapi apakah memang benar demikian? Nah, berikut akan saya jelaskan mengapa Anda perlu segera “mengeksekusi” SAR tanpa perlu Andi Lau (antara dilema dan galau) lagi. Oke, lanjruuut! 
       Bagi traveler pemula dari Indonesia, Hong Kong dan Macau mungkin terlihat sangat asing. Memang asing bila pembandingnya adalah Malaysia dan Singapura yang lazim dikunjungi dan “serupa tapi tak sama” dengan Indonesia. Tapi jangan salah, meskipun relatif jauh, warga negara Indonesia harus bersyukur bahwa kita sangat gampang masuk ke negara Hong Kong dan Macau, segampang masuk ke negara-negara tetangga. Cukup hanya bermodal paspor tanpa perlu rempong mengurus visa, kita sudah mendapat izin tinggal selama 30 hari. Saya tidak tahu pasti alasannya apakah karena memang WNI (baca; TKW) kita sangat dibutuhkan di sana atau memang Hong Kong dan Macau menerapkan kebijakan memudahkan turis masuk ke negara mereka. Jadi tidak ada alasan untuk ragu masuk ke negara SAR seharusnya.
       Untuk masuk SEZ Shenzhen ternyata juga sangat mudah. Cukup apply VOA (Visa on Arrival) yang prosesnya amat mudah dan membayar 168 Yuan di gerbang imigrasi Shenzhen manapun yang dimasuki entah itu bandara, stasiun kereta, atau pelabuhan ferry. VOA ini hanya berlaku lima hari terbatas di SEZ Shenzhen. Kebanyakan orang Indonesia masuk ke Shenzhen melalui jalur darat (kereta) dari Hong Kong di border Lowu/Luohu. Pada praktiknya, Saya belum bertemu orang Indonesia yang masuk dari gerbang imigrasi lain seperti bandara dan pelabuhan ferry dengan VOA. Tapi menurut saya, VOA mestinya juga bisa diperoleh melalui gerbang tersebut.
source: http://www.macstudies.net
       Berhubung tiga wilayah ini kecil dan saling berdekatan, tidak jadi soal Anda mau memulai dan mengakhiri perjalanan di mana. Saya masuk dari Hong Kong, mampir ke Shenzhen, kembali lagi masuk Hong Kong dan keluar lewat Macau. Sebagian besar traveler memilih untuk tidak mengulang rute agar lebih efisien dan efektif. Tapi dalam kasus saya, dalam 12 hari perjalanan (tambah 2 hari di Kuala Lumpur), saya menyesuaikannya agar mendapat jadual sholat Jumat di Hong Kong dan hari ulang tahun saya yang jatuh pada 21 Maret di dua negara sekaligus, yakni Hong Kong dan Macau just for making it memorable! Hehehe…

       Bagaimana dengan harga tiket pesawat? Seorang staf KJRI Hong Kong yang saya temui mengatakan bahwa ia sedikitnya menghabiskan 5-6 juta rupiah PP (tarif normal) dengan Full Board Airlines seperti Garuda Indonesia untuk rute direct Jakarta-Hong Kong. Saat saya cek website Garuda, ada promo USD 354 atau sekitar 4,5 jutaan PP. Tapi bila sedang mahal, yah siap-siap saja merogoh kocek lebih dalam. Selain Garuda, Cathay Pasific, dan China Airlines   yang terbang direct, masih ada pilihan Full Board Airlines lain seperti Singapore Airlines, Malaysia Airlines, dan Thai Airways yang transit di ibukota negara masing-masing. Meskipun harus transit, entah mengapa harga tiket maskapai negara tetangga ini kadang (sering) lebih murah. Pesan saya, sering-seringlah cek website maskapai dengan cara subscribe newsletter-nya melalui e-mail. Jangan malas untuk berburu tiket promo. Bila ada promo Full Board Airlines yang sangat menggiurkan dan budget bukan masalah, apalagi bila direct dan kebetulan Anda berdomisili di Jakarta, lebih baik Anda memilihnya. Hal ini akan lebih efektif dan efisien dari segi waktu dan tenaga, juga kepuasan penerbangan tentunya.   
AA dan KLIA2 jadi pilihan efektif dan efisien
Tentu saja pilihan saya jatuh pada LCC (Low Cost Carrier). Dan lagi-lagi Air Asia menjadi the one and only. Bukan kenapa-napa, tapi bagi saya yang tinggal di Pekanbaru, Air Asia menjadi satu-satunya pilihan terefektif dan terhemat. Sesungguhnya saya amat beruntung tinggal di Pekanbaru karena Kuala Lumpur yang menjadi hub Air Asia hanya selemparan batu akik jaraknya. Tidak promo saja harga tiket PKU-KUL pp sudah sering cukup murah. Apalagi kalau promo, sering gratis malah! Nah, di Kuala Lumpur tahu sendirilah, hampir seluruh rute internasional Air Asia bermula di sini. Fyi, saya menghabiskan total Rp 1.468.788 (belum termasuk airport tax SSK II Rp 150.000) dengan rincian PKU-KUL pp Rp 483.000, KUL-HKG RM 153, dan MFM-KUL RM 122.36 (plus Sky Bus dari KLIA2 ke KL Sentral), dengan kurs 1 RM = Rp 3.580. Murah banget bukan?! Oh iya, semua tiket yang saya beli adalah tiket promo di bulan November 2014 tanpa makanan dan bagasi. Jika tidak ada promo pun, total harga tiketnya tidak lebih dari 3 jutaan, jadi masih affordable. Selain Air Asia yang transit di Kuala Lumpur, masih ada maskapai LCC lain seperti Tiger Air dan Jetsar yang transit di Singapura. Harga tiket antara tiga maskapai budget ini bersaing. Pilihan tergantung jam berangkat dan jam sampai yang Anda inginkan serta pilihan transit di mana. Bagi Anda yang tinggal di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, pilihan penerbangan akan lebih banyak. Sekali lagi, rajin-rajinlah mengikuti promo maskapai karena budget untuk tiket pesawat yang bisa ditekan seminimal mungkin akan sangat berpengaruh terhadap total keseluruhan budget perjalanan. So, selamat berburu tiket murah.
Mi dan kopi dari rumah, bekal sarapan berpetualang
Lalu bagaimana dengan image mahal seperti yang saya singgung di atas sementara kita traveler dengan budget terbatas? Hong Kong memang relatif mahal. Untuk ukuran penginapan, tarif guest house di Hong Kong mungkin sebanding hotel berbintang bila di Thailand atau Vietnam. Untuk makanan, belanja, transportasi, tiket wahana, dan biaya-biaya lain juga relatif mahal. Pengecualian untuk Shenzhen yang cukup murah dan terjangkau baik penginapan, makan, belanja dan transportasi, biaya-biaya di Makau juga relatif mahal. Hal ini bisa dimaklumi karena (sialnya) nilai rupiah terus melemah terhadap mata uang manapun sehingga jalan-jalan ke luar negeri (manapun) pada hakikatnya semakin terasa berat di ongkos saja. Tapi mahal bukan berarti tidak bisa disiasati. Satu porsi makanan di tiga negara ini sangat banyak sehingga untuk lambung orang Indonesia yang kecil dan terbiasa tidak makan banyak, satu porsi sudah bisa untuk dua orang. Bawalah bekal seperti pop mi, mi gelas, dan sosis untuk memangkas budget sarapan. Air minum bisa di-refill di penginapan, tap water gratis atau di masjid, atau ambil di kasino di Macau. Bila berpergian sendiri, menginap di kamar dorm tentunya menjadi pilihan hemat. Wahana-wahana hiburan memang mahal, tapi saya hanya mengalokasikan dana untuk mengunjungi yang sepatutnya dikunjungi saja. Masuk museum-museum yang keren di Hong Kong GRATIS pada hari RABU. Manfaatkan shuttle bus gratis di Macau. Perbanyaklah jalan kaki dan naik tram yang lebih murah-meriah di Hong Kong. Dan masih banyak lagi cara-cara berhemat yang akan saya jelaskan lebih lanjut nanti.
Oh iya, Anda sering ke Singapura? Nah, kalau iya, saya akan cukup heran. Singapura tidak lebih murah daripada Hong Kong kok! Bahkan sesungguhnya dollar Singapura jauh lebih “membunuh” daripada dollar Hong Kong. Dalam lima tahun terakhir saja (2010-2015), SGD diam-diam sudah mengalami kenaikan hampir 3000 rupiah sedangkan HKD paling banter cuma 500 rupiah. Artinya, bila dibanding-bandingkan, harga-harga di Singapura jauh lebih melonjak dan faktanya memang menjadi mahal. Makanya saya akan heran kalau Anda doyan liburan dan shopping berulang kali ke Singapura tapi masih ragu ke Hong Kong dan Macau. Maksud saya, kalau sudah gape ke Singapura, tidak ada salahnya mengarahkan destinasi Anda selanjutnya ke Hong Kong cs.
Oke, sekian dulu postingan kali ini. Masih penasaran dengan kelanjutannyakan? Ikuti terus postingan selanjutnya. Salam travelling. Bersambung

Rabu, 01 April 2015

YOUR DREAMS ARE VALID! - traveling edition


Merlion. Singapura
Hampir setiap orang ngakunya punya impian klise jalan-jalan keliling dunia, termasuk saya. Siapa sih yang nggak kepengen melihat dunia ini dengan segala warnanya? Then one day I found myself having deep interest in jalan-jalan  when I was at university. Lebih tepatnya saat hampir selesai kuliah. Soalnya mulai punya banyak waktu (meskipun belum punya banyak uang!). Saat itu, tepatnya September 2009, untuk pertama kalinya secara tidak sengaja saya melihat buku yang sangat menggugah hasrat berpetualang di toko buku Gramedia. And you know what? Four months later after that my dreams came true! Really came true for backpackeran! Sepertinya saya sudah mendahului kata-kata credit Lupita Nyong’O saat dia menang Oscar 2014; your dreams are valid! Halah!
Oke, forget about my kisah-kisah awal of being traveler. Let me tell you this, what type of traveler I am? Dari beberapa sumber yang saya baca, ada sekian macam sebutan untuk seorang pejalan. Traveler, backpacker, turis, dsb, bahkan ada yang mengkombinasikannya seperti travel writer, culinary travel, and so on, what everlah. Nah, sejak dimulainya era booming traveling secara independent oleh masyarakat Indonesia beberapa tahun lalu (pertengahan 2000-an), banyak dari penduduk negeri ini, utamanya generasi muda, yang latah menyebut dirinya sebagai backpacker. Padahal secara harfiah saja, backpacker itu sudah bisa dibayangkan, manggul ransel segede keranda jenazah di punggung dan jalan jauh kayak gembel, tidur entah di mana dan dalam kondisi bagaimana, jauh dari yang namanya perjalanan nyaman, alias antikemapanan. Backpacker lebih kepada eksplorasi, struggling, and challenge yourself by putting yourself outside your comfort zone. What for? To find yourself, gitu kira-kira kata-kata bijaknya. Not just for “likes, loves, and envy or adoring comments” on your sosmed! Jadi yang jalan-jalannya ngalay buat narsis di sosmed doang without realizing how strong you should be, how wise you could be, and how many lessons you could take for, you are not a true backpacker! Tapi bukan berarti backpacker itu mesti selalu me-menderita-kan atau membuat sengsara diri sendiri lho. It's how about how smart and wise you travel independently. Sejauh kamu bisa memanage perjalananmu sehingga bisa dinikmati dengan maksimal dan banyak pelajaran yang bisa dipetik, why not
Masjid Raya Medan
Saya melihat kebanyakan pejalan dari Negara-negara Barat dan Asia Timur lah yang memang memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang what backpacker all about. Mungkin karena tradisi backpackeran ini sudah lama mengakar menjadi budaya mereka sejak jaman jebot, dan sejak usia dini, jadi maknanya masih terjaga. Kalau turis jelas, mereka yang melakukan perjalanan sengaja untuk melihat objek-objek wisata. Nah kalau traveler, pengertiannya lebih luas, pejalan, bisa pejalan apa aja tergantung keperluan masing-masing. Misalnya corporate traveler yg tujuannya buat bisnis, dsb. Belakang muncul istilah “ngebolang” yang diambil dari acara anak si Bolang Bocah Petualang di Trans 7. Somehow istilah ngebolang ini bagi saya cukup make sense. Meskipun tidak ada definisi ilmiah yang pasti, tapi untuk dikatakan salah juga tidak bisa. Intinya ya berpetualang suka-suka jer.
    Sayapun mengakui kalau diri saya bukan backpacker sejati. Jauh malah. Dibilang sering jalan-jalan sih, nggak juga. Memang tak tentu, tapi setahun paling nggak 1 atau 2 kali. Udah ke mana aja? Halah! Masih cetek saya ini, jangan ditanya! Paspor pertama saya yang 48 halaman sudah ekspired saat cap-capnya belum nyampe halaman 10. Itu pun kebanyakan dari negara tetangga yang itu-itu saja. Untuk dalam negeri, hanya 3 pulau yang pernah saya pijak, Sumatera, Jawa, dan Batam. Udah itu aja. Jangan ketawa! Saya sendiri punya tipikal pribadi sebagai seorang traveler. Saya bukan pendaki gunung. Saya suka berenang (tapi nggak pernah diving), tapi juga nggak ngotot harus berenang kalau ketemu laut. Saya malas jalan panas-panas. Saya sangat suka mengunjungi museum dan mempelajari sejarah peradaban tempat yang dikunjungi. Saya senang mencoba kuliner lokal. Tidak terlalu suka masuk ke Theme Park (karena mahal!) kecuali punya banyak wahana-wahana yang keren dan menantang. Saya tidak (terlalu) suka shopping. Saya suka aktivitas sesederhana menyusuri jalan-jalanan kota sembari mengamati dan meresapi atmosfer yang berbeda dan asing.
Monas. Jakarta
Manggul backpack segede bagong? Hhh… males banget sebenarnya. Boleh dibilang saya ini pejalan manja (manjajok!) lol. Ya ada sih backpack 45 liter, itu aja udah bikin pegel linu kalau isinya full meski baru dipanggul sekian menit. Nggak sering dipakai, tergantung lamanya dan model perjalanannya. Kalau lama dan ribet ya mau nggak mau mesti make backpack gede itu. Tapi kalau jalannya nyante meskipun lama, ya lebih pilih pakai koper ganteng. Untuk perjalanan seminggu ringkes, saya cukup pake ransel biasa kapasitas 30 liter, bisa masuk kabin. Wardrobe? Dulu waktu awal-awal saya termasuk cuek. Tapi setelah dilihat-lihat kok fotoan dengan kaos yang sama berulang-ulang nggak keren ya? Jadilah saya mulai memikirkan style biar bisa punya fotofolio yang mendingan. Mulailah saya bawa kemeja yang rapi, batik yang kece, sweater yang modisan. Memang sedikit merepotkan, tapi demi gaya, halah!
Nginep di mana? Oke, dulu awal-awal jalan saya masih ogah nginep rame-rame di kamar dormitory. Saya masih strict soal privasi. Jadinya saya selalu memilih kamar single. Tapi dipikir-pikir kok ya agak boros dan kesepian ya. Akhirnya suatu ketika saya beranikan untuk tidur di dorm. Well, tenyata fine-fine aja tuh. Malah saya senang karena selalu dapat teman baru. Kadang dapat teman yang sama begundal dan noraknya itu bikin perjalanan tambah seru. Meskipun demikian, tetap ada sisi ketidaknyamanannya. Orang bilang capek bertoleransi, seperti kamar yang super sempit, susahnya mau sholat, kawan sekamar yang berisik, yang baru pulang dini hari, yang ngantre kamar mandi, yang digabung cowok-cewek, yang diam-diam bawa cewek ke kamar, rebutan colokan listrik, sungkan mau makan dan jorok-jorok-an, dan lain-lain. Banyak deh. Lalu bagaimana saya menyiasatinya? Kalau masalah yang lain saya masih bisa toleran. Tapi kalau soal sholat, saya baru akan menginap di dorm bila saya bisa menemukan masjid/musholla di sekitar penginapan. Sementara untuk sholat subuh saya cuek saja sholat di kamar karena hampir dapat dipastikan kawan sekamar pada molor saat jam subuh.
Salah satu gaya andalan
Cara jitu lain yang pernah saya coba untuk mendapatkan kenyamanan menginap tapi tetap dengan harga murah adalah dengan trial and error menggeret kawan nemu di jalan untuk sharing cost to stay together di kamar double atau twin. Dengan begini, privasi kita lebih terjaga, lebih nyaman, tidak terlalu rempong bertoleransi, dan tetap hemat tentunya. Pernah lho waktu di Hanoi saya nginep di kamar hotel, berdua dengan turis Jepang yang ketemu secara tidak sengaja di jalan. Seruuu….banget! Dengan masing-masing membayar setengah, kita sudah dapat kamar hotel yang lega dan lumayan mewah untuk ukuran backpacker. Karena cuma berdua, masing-masing kita pun cuek tanpa perlu capek bertoleransi. Saya cuek sholat, dia pun cuek saja mabok di malam hari. Asyik bukan.
Anyway, mau bagaimanapun gaya berjalan kamu, itu adalah hak kamu sepenuhnya. Jangan sekali-sekali terpengaruh orang lain atau apa yang terlihat sebagai sebuah mainstream. Be yourself! Kalau kamu memang bukan seorang pendaki gunung, jangan paksakan diri ngos-ngosan mau mampus hanya gara-gara artis favorit kamu Pevita Pearce dan Raline Shah nangkring di puncak Mahameru. Kalau kamu nggak jago berenang (apalagi diving!), jangan paksakan diri bersusah-susah dan bermahal-mahal ke Raja Ampat hanya karena kawan kamu posting gambar di instagram dia lagi bercengkrama dengan anak hiu dengan capture “You should be here!”. Awas, kalimat “you should be here” yang secara tidak sadar banyak diucapkan itu jangan ditelan bulat-bulat! Kalau kamu misalnya memang lebih senang jalan-jalan ke desa yang sederhana untuk sekadar leyeh-leyeh dan itu membuatmu bahagia, why not? Atau kalau kamu senangnya jalan-jalan untuk berburu kuliner, fotografi, shopping, belajar seni dan sejarah, dsb, tidak ada yang salah dengan itu. As long as you are happy dan ada pelajaran berharga yang bisa kamu petik agar hidupmu menjadi lebih baik, maka itulah traveling untuk dirimu. Berjalanlah menuju impianmu sendiri, dengan caramu sendiri. Then you’ll find yourself. Happy traveling.