Baru saja duduk di kursi pesawat Air Asia Philippines yang akan membawa saya terbang ke Manila, saya sudah senyam-senyum sendiri mendengar pramugari berbicara menggunakan bahasa Tagalog. Bahasa yang terdengar unik di telinga saya karena seolah-olah seperti mendengar salah satu bahasa daerah di Indonesia.
Penerbangan 4 jam ditempuh
dengan banyak turbulence keras. Konon katanya rute Jakarta-Manila adalah salah
satu rute dengan “banyak lobang” sehingga hampir dapat dipastikan penerbangan
di rute ini jarang yang mulus-mulus saja. Tapi saya mah cuek dan
tetap bisa tidur-tidur ayam di tengah guncangan keras berulang kali. Syukurnya,
penerbangan nggak nyante itu berganti dengan pemandangan Manila Bay yang super tjakep sesaat menjelang pesawat mendarat. Kita bisa melihat kawasan teluk dan
gedung-gedung tinggi Manila yang ditimpa cahaya langit sore. Syahdu banget.
Sayangnya saya tidak duduk di window seat jadi tidak bisa memotret atau
memvideokannya. So, make sure kamu ambil kursi dekat jendela terutama di sisi
sebelah kiri pesawat jika ingin menikmati pemandangan memukau ini.
Ninoy Aquino International
Airport (NAIA) adalah bandara utama di Filipina. Terminal 3 tempat pesawat saya
mendarat cukup lapang dan lega. Meskipun desain eksteriornya terlihat seperti dari jaman old, interiornya tampak sudah di-refurbish dan sudah cukup memenuhi standar
airport yang nyaman versi saya. Somehow saya suka sih dengan T3-nya NAIA,
sedikit lebih baik dari T3 Soetta yang meskipun baru dan modern, entah kenapa gagal
memenuhi ekspektasi saya. Eitss, ini pendapat pribadi aja lho, no offense.
However,.... NAIA secara keseluruhan juga banyak minusnya. Pertama, belum ada
transportasi umum yang reliable dari dan ke bandara. Well, Bisa aja sih kalau
keukeuh juga dengan naik jeepney disambung dengan MRT plus jalan kaki. Tapi kok ya
ribet, nggak praktis dan nggak nyaman ya? Belum lagi kalau macet, Manila lumayan
bikin gila juga. Otomatis satu-satunya cara ya dengan taksi bandara. Syukurnya
NAIA itu sendiri sudah berada di tengah kota (Pasay city) jadi lumayan dekat kalau ke
daerah lain semisal Makati city, tempat paling populer di Metro Manila.
Bagusnya lagi taksi bandara sudah dikelola dengan cukup baik. Tinggal antri secara
teratur, duduk manis dan ngadem, sampailah saya di hotel di daerah Makati
dengan rate kira-kira 100 ribu rupiah. Cukup worth, apalagi kalau pergi
rame-rame bareng teman atau keluarga.
Manila Bay at night |
Kedua, terminal-terminal
di NAIA (ada empat terminal) belum terintegrasi dengan baik. Keempat terminal
itu seolah berdiri sendiri-sendiri dan tidak dihubungkan dengan shuttle
antar terminal yang memadai. Sumpah rempong dan bikin kesal untuk yang punya penerbangan
lanjutan di terminal yang berbeda. Jangan bertaruh deh kalau spare waktu
penerbangannya mepet, bisa-bisa kalian jantungan ketinggalan pesawat.
Pengalaman tak menyenangkan ini sempat saya alami. Jadi gini, waktu balik dari
Kalibo (Boracay) saya mendarat menjelang maghrib di T4 yang super duper kecil tapi penuh sesak
kayak pasar tumpah. Dari T4 saya harus berpindah ke T3 untuk penerbangan
selanjutnya, selisih waktu penerbangan kira-kira 4 jam. Karena tidak ada petunjuk yang jelas, saya tanyalah
sana-sini sama petugas di mana saya bisa ambil shuttle airport untuk pindah ke
terminal lain. Gaje! Ada yang (dengan tidak pasti) cuma tunjuk-tunjuk doang di mana saya mesti nungguin shuttle. Ada yang nggak yakin ada shuttle apa nggak (nah lho?). Ada pula yang
nyaranin saya naik taksi aja. Eh buset, masak pindah terminal doang mesti naik
taksi. Lucu!
Manila, the Pearl of the Orient |
Setelah sekian lama, sambil gelisah modar-mandir
dan celingak-celinguk mempertimbangkan apakah saya sebaiknya naik taksi saja,
terlihatlah bus besar dengan papan bertuliskan T2 dan T3. Saya sempat berlari
sambil teriak-teriak manggil sopir busnya, soalnya dia nggak berhenti di tempat
yang saya perkirakan, takutnya saya ketinggalan. Sambil terengah-engah saya tanya sopir
untuk memastikan bahwa bus ini bakal ke T3. Yup bener. Sayapun sedikit lega.
Etapi was-was saya belum berhenti saat bus ini akhirnya bergerak keluar dari
T4. Ternyata terminal NAIA itu satu sama lainnya benar-benar terpisah meskipun
berdekatan! Jadi rutenya keluar area terminal, lalu masuk ke jalanan umum perkotaan dulu,
terus masuk ke area terminal lagi, keluar lagi, masuk kota lagi, balik lagi ke terminal, gitu aja terus sampe lebaran monyet! Terus lagi nih, rutenya itu ternyata
random! Jadi bukannya dari terminal 1 ke 2 terus ke 3 gitu, nggak! Seenak udel
supirnya bae! Saya ingat abis muter-muter gaje masak saya balik lagi
ke T4! Lawak kali kan? Udah gitu ngetem di tiap terminal lama banget lagi. Pantes dong ya penumpang bus ini sepi. Terkahir, saat mau turun, penumpang
dimintai bayaran (saya lupa berapa Peso). Yak, bayar sodara-sodara! Kan bangke! (bersambung).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar