Merlion. Singapura |
Oke, forget about my kisah-kisah awal of being
traveler. Let me tell you this, what type of traveler I am? Dari beberapa sumber yang saya baca,
ada sekian macam sebutan untuk seorang pejalan. Traveler, backpacker, turis,
dsb, bahkan ada yang mengkombinasikannya seperti travel writer, culinary
travel, and so on, what everlah. Nah, sejak dimulainya era booming traveling
secara independent oleh masyarakat Indonesia beberapa tahun lalu (pertengahan 2000-an), banyak dari penduduk negeri ini, utamanya generasi muda, yang latah
menyebut dirinya sebagai backpacker. Padahal secara harfiah saja, backpacker
itu sudah bisa dibayangkan, manggul ransel segede keranda jenazah di punggung
dan jalan jauh kayak gembel, tidur entah di mana dan dalam kondisi bagaimana,
jauh dari yang namanya perjalanan nyaman, alias antikemapanan. Backpacker lebih
kepada eksplorasi, struggling, and challenge yourself by putting yourself
outside your comfort zone. What for?
To find yourself, gitu kira-kira kata-kata bijaknya. Not just for “likes, loves, and envy or adoring comments” on your
sosmed! Jadi yang jalan-jalannya ngalay buat narsis di sosmed doang without realizing how strong you should be, how wise you could be, and
how many lessons you could take for, you are not a true backpacker! Tapi bukan berarti backpacker itu mesti selalu me-menderita-kan atau membuat sengsara diri sendiri lho. It's how about how smart and wise you travel independently. Sejauh kamu bisa memanage perjalananmu sehingga bisa dinikmati dengan maksimal dan banyak pelajaran yang bisa dipetik, why not?
Masjid Raya Medan |
Saya melihat
kebanyakan pejalan dari Negara-negara Barat dan Asia Timur lah yang memang
memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang what backpacker all about. Mungkin karena tradisi backpackeran ini
sudah lama mengakar menjadi budaya mereka sejak jaman jebot, dan sejak usia
dini, jadi maknanya masih terjaga. Kalau turis jelas, mereka yang melakukan
perjalanan sengaja untuk melihat objek-objek wisata. Nah kalau traveler,
pengertiannya lebih luas, pejalan, bisa pejalan apa aja tergantung keperluan
masing-masing. Misalnya corporate traveler yg tujuannya buat bisnis, dsb.
Belakang muncul istilah “ngebolang” yang diambil dari acara anak si Bolang Bocah
Petualang di Trans 7. Somehow istilah ngebolang ini bagi saya cukup make sense.
Meskipun tidak ada definisi ilmiah yang pasti, tapi untuk dikatakan salah juga
tidak bisa. Intinya ya berpetualang suka-suka jer.
Sayapun
mengakui kalau diri saya bukan backpacker sejati. Jauh malah. Dibilang sering
jalan-jalan sih, nggak juga. Memang tak tentu, tapi setahun paling nggak 1 atau
2 kali. Udah ke mana aja? Halah! Masih cetek saya ini, jangan ditanya! Paspor
pertama saya yang 48 halaman sudah ekspired saat cap-capnya belum nyampe halaman
10. Itu pun kebanyakan dari negara tetangga yang itu-itu saja. Untuk dalam
negeri, hanya 3 pulau yang pernah saya pijak, Sumatera, Jawa, dan Batam. Udah
itu aja. Jangan ketawa! Saya sendiri punya tipikal pribadi sebagai seorang
traveler. Saya bukan pendaki gunung. Saya suka berenang (tapi nggak pernah
diving), tapi juga nggak ngotot harus berenang kalau ketemu laut. Saya malas jalan panas-panas. Saya sangat suka
mengunjungi museum dan mempelajari sejarah peradaban tempat yang dikunjungi.
Saya senang mencoba kuliner lokal. Tidak terlalu suka masuk ke Theme Park
(karena mahal!) kecuali punya banyak wahana-wahana yang keren dan menantang.
Saya tidak (terlalu) suka shopping. Saya suka aktivitas sesederhana menyusuri
jalan-jalanan kota sembari mengamati dan meresapi atmosfer yang berbeda dan
asing.
Monas. Jakarta |
Manggul
backpack segede bagong? Hhh… males banget sebenarnya. Boleh dibilang
saya ini pejalan manja (manjajok!) lol. Ya ada sih backpack 45 liter, itu aja udah
bikin pegel linu kalau isinya full meski baru dipanggul sekian menit. Nggak
sering dipakai, tergantung lamanya dan model perjalanannya. Kalau lama dan
ribet ya mau nggak mau mesti make backpack gede itu. Tapi kalau jalannya nyante
meskipun lama, ya lebih pilih pakai koper ganteng. Untuk perjalanan seminggu
ringkes, saya cukup pake ransel biasa kapasitas 30 liter, bisa masuk kabin. Wardrobe? Dulu waktu awal-awal saya
termasuk cuek. Tapi setelah dilihat-lihat kok fotoan dengan kaos yang sama
berulang-ulang nggak keren ya? Jadilah saya mulai memikirkan style biar bisa
punya fotofolio yang mendingan. Mulailah saya bawa kemeja yang rapi, batik yang
kece, sweater yang modisan. Memang sedikit merepotkan, tapi demi gaya, halah!
Nginep di
mana? Oke, dulu awal-awal jalan saya masih ogah nginep rame-rame di kamar
dormitory. Saya masih strict soal
privasi. Jadinya saya selalu memilih kamar single. Tapi dipikir-pikir kok ya
agak boros dan kesepian ya. Akhirnya suatu ketika saya beranikan untuk tidur di
dorm. Well, tenyata fine-fine aja tuh. Malah saya senang karena selalu dapat
teman baru. Kadang dapat teman yang sama begundal dan noraknya itu bikin
perjalanan tambah seru. Meskipun demikian, tetap ada sisi ketidaknyamanannya. Orang bilang capek bertoleransi, seperti kamar yang super sempit, susahnya mau
sholat, kawan sekamar yang berisik, yang baru pulang dini hari, yang ngantre
kamar mandi, yang digabung cowok-cewek, yang diam-diam bawa cewek ke kamar,
rebutan colokan listrik, sungkan mau makan dan jorok-jorok-an, dan lain-lain.
Banyak deh. Lalu bagaimana saya menyiasatinya? Kalau masalah yang lain saya
masih bisa toleran. Tapi kalau soal sholat, saya baru akan menginap di dorm
bila saya bisa menemukan masjid/musholla di sekitar penginapan. Sementara untuk
sholat subuh saya cuek saja sholat di kamar karena hampir dapat dipastikan
kawan sekamar pada molor saat jam subuh.
Salah satu gaya andalan |
Cara jitu
lain yang pernah saya coba untuk mendapatkan kenyamanan menginap tapi tetap
dengan harga murah adalah dengan trial
and error menggeret kawan nemu di jalan untuk sharing cost to stay together di kamar double atau twin. Dengan
begini, privasi kita lebih terjaga, lebih nyaman, tidak terlalu rempong
bertoleransi, dan tetap hemat tentunya. Pernah lho waktu di Hanoi saya nginep
di kamar hotel, berdua dengan turis Jepang yang ketemu secara tidak sengaja di
jalan. Seruuu….banget! Dengan masing-masing membayar setengah, kita sudah dapat
kamar hotel yang lega dan lumayan mewah untuk ukuran backpacker. Karena cuma
berdua, masing-masing kita pun cuek tanpa perlu capek bertoleransi. Saya cuek
sholat, dia pun cuek saja mabok di malam hari. Asyik bukan.
Anyway, mau
bagaimanapun gaya berjalan kamu, itu adalah hak kamu sepenuhnya. Jangan
sekali-sekali terpengaruh orang lain atau apa yang terlihat sebagai sebuah mainstream. Be yourself! Kalau kamu memang bukan seorang pendaki gunung, jangan
paksakan diri ngos-ngosan mau mampus hanya gara-gara artis favorit kamu Pevita
Pearce dan Raline Shah nangkring di puncak Mahameru. Kalau kamu nggak jago
berenang (apalagi diving!), jangan paksakan diri bersusah-susah dan
bermahal-mahal ke Raja Ampat hanya karena kawan kamu posting gambar di
instagram dia lagi bercengkrama dengan anak hiu dengan capture “You should be
here!”. Awas, kalimat “you should be here” yang secara tidak sadar banyak
diucapkan itu jangan ditelan bulat-bulat! Kalau kamu misalnya memang lebih senang jalan-jalan ke desa yang sederhana untuk sekadar leyeh-leyeh dan itu membuatmu bahagia, why not? Atau kalau kamu senangnya jalan-jalan untuk berburu kuliner, fotografi, shopping, belajar seni dan sejarah, dsb, tidak ada yang salah dengan itu. As long as you are happy dan ada pelajaran berharga yang bisa kamu petik agar hidupmu menjadi lebih baik, maka itulah traveling untuk dirimu. Berjalanlah menuju impianmu sendiri,
dengan caramu sendiri. Then you’ll find yourself. Happy traveling.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar