Dalam kondisi badan yang tidak fit, lelah karena perjalanan panjang, perut keroncongan, ditambah cuaca dingin, saya adalah penumpang terakhir yang diantar menuju penginapan sementara oleh airport pick up kami. Turun dari mobil untuk mengambil koper, jantung saya seketika langsung mau copot begitu melihat koper yang tersisa bukan milik saya. Deg!
Oh...nooooo..........Tidaaakkkkkkk. Pasti salah seorang di antara
teman saya ada yang salah mengambil koper. Well, kalau dilihat-lihat, koper
yang tersisa itu memang mirip dengan punya saya. Lah tapi kan ada name tag dan
pita berwarna yang menjadi pembeda. Piye toh?! Lalu saya lihatlah milik siapa
sesungguhnya koper yang tersisa ini karena kemungkinan besar dialah orang yang
salah mengambil koper. Ternyata milik mbak D. Saya maklum, kita sama-sama sudah
lelah dan butuh aqua, jadi sudah tidak konsentrasi lagi mungkin. Syukurnya
supir punya catatan alamat kita masing-masing. Jadilah kita meluncur kembali ke
rumah mbak D untuk menukar koper cinta yang tertukar.
Tapi ternyata masalah belum selesai.
Tipikal rumah sederhana di Australia |
Berkali-kali saya tekan bel dan bahkan berteriak memanggil mbak Des.
Tidak ada jawaban. Di telpon atau sms tidak mungkin karena kita baru saja
sampai, belum punya kartu lokal dan sama sekali belum bisa berkomunikasi. Saya
mulai gusar. Supirpun mulai terlihat tidak sabar. Hfff.... saya nyerah. Si
supir akhirnya ngomong, “Maaf, tapi saya harus balik ke bandara untuk menjemput
penumpang lain. Begini saja, sekarang kan kamu sudah tau rumahnya. Saya
antarkan kamu balik ke rumahmu dulu. Nanti kalian saja yang mengurus masalah
koper ini. Bisa kan?” Saya tidak punya pilihan lain.
Padahal itu satu-satunya koper yang saya bawa. Saya nggak bisa
ngapa-ngapain kalau belum membuka koper itu minimal untuk sikat gigi dan cuci
muka. Kok bisa ya mbak D nggak ngeh gitu dan kenapa pula dia tidak berada di
rumah padahal dia juga abru nyampe? Ya Allah... gini amat ya. Udah badan
meriang kepala nyut-nyutan, capek, lapar, kedinginan, belum bisa berkomunikasi
sama sekali, eh ditambah lagi masalah koper yang ketuker ini. Komplit dah! Akhirnya,
karena sudah sangat lelah dan tak mau ambil pusing lagi, siang itu saya pun
langsung tepar di kamar kosan.
Saya terbangun saat hari sudah sore. Udara semakin dingin. 17
derajat celcius. Saat itu roommate saya, mas R, yang juga mahasiswa dari
Indonesia baru saja pulang dari kampusnya di RMIT. Saya menceritakan apa yang
saya alami. Berkat dia akhirnya saya bisa terhubung dengan wifi di apartemen
dan berkomunikasi dengan mbak D via Whatsapp. Ternyata, begitu sampai di rumah
siang tadi, mbak D langsung diajak roomatenya keluar untuk makan siang dan
berkeliling kota tanpa sempat membuka koper terlebih dahulu. Pantesaaannn...!!
Hiks. Mas R pun akhirnya bersedia untuk menemani saya kembali ke rumah mbak D
untuk menukar koper setelah sholat maghrib. Tapi karena saat itu sedang musim
panas, maghribnya baru jam 9 malam. Duh...
Melbourne cbd dengan lalu-lintas tram yang sibuk |
Malam itu, dengan susah payah, untuk pertama kalinya saya pun naik
tram sambil menggotong koper. Sebelumnya saya sudah memiliki kartu Myki, kartu
yang digunakan untuk menaiki moda transportasi umum di Victoria, pemberian
teman sewaktu masih di Indonesia. Jujur saat itu saya masih belum mengerti
bagaimana kartu ini bekerja, di mana dan bagaimana cara untuk menambah deposit
serta memilih paketnya. Apesnya, kartu itu tidak memiliki deposit sama sekali
sementara saya sudah terlanjur berada di dalam tram. Saya deg-degan kalau-kalau
ada petugas pemeriksa dan menemukan kartu saya tidak valid lantas menilang
saya. Kan nggak lucu! Syukurlah semua aman-aman saja.
Tapi yang bikin tambah jiper adalah suhu yang semakin ngedrop, 10
derajat celcius plus angin dingin sementara saya hanya mengenakan sweater tipis.
Turun dari tram saya benar-benar menggigil. Hei... ini summer lho. Ya Allah....
saya bener-bener di syok therapy di hari pertama saya tiba. Harapan saya untuk
mendapatkan perjalanan mulus cuma angan-angan. Bayangan saya akan summer yang
hangat juga buyar begitu mendapati kenyataan bahwa di Melbourne, musim panas
sekalipun terasa jauh lebih dingin daripada di Pekanbaru. Tubuh saya perlu
beradaptasi dengan kondisi cuaca seperti ini.
University square Melbourne University |
Keesokan paginya, masih dengan cuaca dingin 16 derajat celcius (rupanya
dalam beberapa hari itu memang sedang dalam gelombang dingin) dan kondisi badan
tidak fit, saya dengan sotoynya jalan kaki ke Parkville campus Unimelb selama
45 menit untuk mengikuti orientasi kampus hari pertama. Hari itu, Jumat, adalah
puncak di mana badan saya benar-benar sakit, lemes, sakit kepala hebat dan
meriang. Sepulang dari kampus, saya buka baju, dan terlihatlah sekujur badan
mulai dari leher sampai paha penuh dengan bintik-bintik merah. Deg! Campak!
Well, kedatangan dan hari-hari awal saya di Melbourne memang tidak
mulus. Nggak ada seorangpun yang berharap kejadian yang saya alami terjadi pada
mereka. Tapi inilah yang harus saya hadapi. Hikmahnya, saya belajar untuk lebih
bersabar dan kalem sekalipun di moment krusial di mana mungkin saya bisa larut
dalam euforia. Dan tentunya, saya jadi punya bahan menarik untuk diceritakan because
normal thing is so boring! Hehehe...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar