Jam kuntilanak low-cost airline |
Penerbangan perdana di tahun 2016 adalah salah satu penerbangan
paling bersejarah dalam hidup saya. Pasalnya, rangkaian tiga penerbangan
beruntun mengantarkan saya merah mimpi untuk menempuh pendidikan di negeri
kangguru selama 2 tahun. Selain penerbangan dengan “spesial purpose” ini, saya
juga mencatatkan banyak rekor lain di antaranya terbang perdana dengan beberapa
maskapai dan jenis pesawat tertentu. Penasaran seperti apa lengkapnya catatan
penerbangan saya sepanjang tahun 2016? Berikut ulasan lengkapnya.
Ada total 17 penerbangan yang saya bukukan di tahun 2016. Sebagian
besar adalah penerbangan domestik di Australia dengan maskapai setempat. Karena
alasan kepindahan inilah saya untuk pertama kalinya mencicipi maskapai Qantas,
Jetstar Australia, Tiger Australia, dan Virgin Australia. Menurut saya, tidak
ada yang spesial dari maskapai-makapai ini. Pelayanan dan kondisi kabin masuk
dalam kategori standar, tidak wah tapi juga tidak mengecewakan. Untuk low-cost
airline Australia, kebanyakan pesawatnya juga jenis standar Airbus A320
berkapasitas 180 tempat duduk. Yang saya catat, harga tiket pesawat untuk low-cost
airline di Australia sungguh benar-benar bikin mupeng. Meskipun tidak pernah
benar-benar murah, mereka konsisten menggelar promo sepanjang musim yang
menyebabkan kita kepingin sering jalan-jalan kapanpun dan ke manapun di
Australia. Dari kota tempat tinggal saya yang strategis, Melbourne, tiket ke
Sydney, Tasmania, dan Adelaide yang masing-masing hanya berjarak lebih kurang 1
jam penerbangan bisa didapat seharga 30 dollar Aussie ( 300 ribu rupiah) saja
saat promo.
Selalu nyaman transit di SIN |
Di pertengahan
tahun, saya mudik lebaran dan untuk pertama kalinya juga saya naik Air Asia X
dengan pesawat wide body-nya Airbus A330-300 berkapasitas 377 penumpang dengan
rute Melbourne-Kuala Lumpur. Saat balik,
saya mengambil maskapai dan rute berbeda yang lagi-lagi pertama kalinya bagi
saya, yakni Malindo tujuan Kuala Lumpur-Perth. Cukup mengejutkan bahwa,
meskipun dengan pesawat narrow body (Boeing 737-800), Malindo mampu memberikan
pengalaman terbang yang berkesan. Lima jam terbang di pagi hari (jam terbang
menarik) ditempuh dengan pelayanan full service yang cukup memuaskan, yakni
bagasi included, makanan on board, AVOD, plus selimut. Saya jadi berpikir untuk
naik Malindo lagi di lain kesempatan. Banyak yang bilang Malindo serupa dengan
Batik Air yang belum pernah saya coba. Sampai akhirnya di akhir tahun 2016 itu,
saya yang sudah lama penasaranpun mencoba terbang dengan Batik Air. Mungkin
ekspektasi saya terlalu tinggi terhadap Batik, tapi kalau boleh jujur, Garuda
masih lebih nyaman.
SQ punya banyak pesawat segadang gedabak |
Berikutnya, di
akhir tahun ini juga saya mudik untuk kedua kalinya memanfaatkan reunion
airfare dari sponsor beasiswa. Kali ini benar-benar rekor besar buat saya
karena untuk pertama kalinya saya terbang dengan maskapai terkenal Singapore
Airlines lengkap dengan pesawat segadang gedabaknya Airbus A380-800
berkapasitas 441 tempat duduk. Sesampainya di Changi, penerbangan dilanjutkan
dengan maskapai Silk Air (anaknya Singapore Airlines) menuju Pekanbaru dengan
pelayanan full service. Inipun maskapai yang baru pertama kali saya coba.
Menang banyak deh pokoknya. Selain wide body-nya SQ dan Air Asia X, wide body
lain yang saya coba adalah Qantas penerbangan Jakarta-Sydney dan
Sydney-Melbourne di awal kedatangan saya ke Australia, keduanya dengan pesawat
berjenis Boeing 330-200 berkapasitas 239 tempat duduk. Yang saya suka dari
pesawat tipe ini adalah formasi tempat duduk 2-4-2 pada kabin ekonominya.
Formasi ini membuat penumpangnya tidak ada yang “kejepit”.
Motonya: memanusiakan manusia (SIN) |
Saat balik
sehabis liburan saya kembali menggunakan rute yang sama yakni
Pekanbaru-Singapore dengan Silk Air (pesawat Airbus A320) dan dilanjutkan
dengan SQ (kali ini dengan pesawat super lonjong Boeing 777-300 ER berkapasitas
264 tempat duduk) menuju Melbourne. Tapi saya balik di Febuari 2017, jadi penerbangan
ini sudah tidak masuk lagi catatan 2016. Tak pe lah. Ada perbedaan rasa yang
saya catat, yakni saat terbang dari Melbourne ke Singapura, pelayanannya biasa
saja. Tetapi saat balik (terbang dari homebase-nya di Singapura) barulah saya
merasakan service SQ yang benar-benar patut diacungi jempol. Ada cacatan
menarik setiap saya transit di Singapura. Dengan waktu transit yang hanya 5,5
jam, saya bela-belain nekat keluar imigrasi buat kabur ke pusat kota hanya
untuk makan enak di daerah Bugis. Syukurnya MRT di Singapura predictable
sehingga saya tidak khawatir tertinggal pesawat. Demikianlah rekam jejak
penerbangan saya di tahun 2016. Perjalanan di tahun 2017 sudah dimulai di
Januari 2017, perjalanan balik, dan liburan musim panas di Australia di bulan
Febuari, and.... penerbangan-penerbangan selanjutnya yang siap membawa saya
entah kemana. Nanti kalau ada kesempatan saya juga akan menyajikan rekapitulasi
penerbangan 2017. In thrust we trust!