.quickedit{ display:none; }

Selasa, 26 Desember 2017

HIJRAH KE NEGERI KANGGURU [PART I]

        Kali ini, saya tidak akan bercerita panjang kali lebar bagaimana caranya saya sampai mendapatkan kesempatan studi master ke Australia dengan beasiswa asing. Tapi kalau nanti banyak yang request, bolehlah saya tuangkan dalam sebuah postingan.
      
      Singkat cerita, tibalah waktu yang dinanti-nantikan itu, “perlepasan antara bangsa” alias minggat dari Indonesia. Apesnya, meskipun sudah mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin, bak pepatah bilang;  untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, keberangkatan saya tidak berjalan mulus. Beberapa hari menjelang hari H, apa yang saya takutkan mulai menjadi kenyataan. Perlahan-lahan fisik saya ngedrop sampai akhirnya saya beneran jatuh sakit: sakit kepala, deman, radang tenggorokan yang disertai gejala 5L (lemah, letih, lesu, loyo, lebay). Waduh, gaswat! Perasaan was-was mulai timbul (perasaan cinta timbul tenggelam). Bagaimana kalau nanti saat “ketibaan antara bangsa” di Australia, pas ngelewatin heat detector saya dicekal dan diseret masuk karantina? #efeklebayny 
      
     Tapi apa boleh baut! Apapun itu harus saya hadapi seraya berpasrah diri sama yang di-Atas. Seperti kata lagu Malaysia; “lalu kuredah onak duri dan lautan api. Ke muncaknya ingin kutawan, aku jelajahi”. Bahasa sederhananya sih “rawe-rawe rantas malang-malang putung!” Dari PKU ke CGK semua berjalan lancar. Nyampe di CGK, kepala saya makin berdenyut nggak karuan. Syukurnya saya belum sampai patah selera, jadi saya hajar saja makan sekenyang mungkin di bandara agar tenaga tetap terjaga untuk melanjutkan perjalanan panjang berikutnya ke Sydney. Pesawat Qantas yang kami tumpangi akhirnya lepas landas pada malam hari. Saya yang duduk di window seat, terus menatap kerlap-kerlip lampu kota Jakarta dengan mata berkaca-kaca. O Allah, You makes my dreams come true T T. Your “kun fayakun” is absolutely beyond my imagination. Tidak pernah terbayangkan, saya yang biasa-biasa ini sekarang akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Indonesia untuk menjemput impian ke negeri seberang. Allahu akbar. Koala...here daddy comes...
         Meanwhile, my meriang and nyut-nyut-an continue...
      Mungkin karena saking excitednya saya sama sekali nggak bisa tidur selama penerbangan sampai akhirnya semburat mentari pagi di ufuk timur menandakan bahwa sesaat lagi pesawat akan segera mendarat di Kingsford International Airport, Sydney. Tepat pukul 6 pagi waktu setempat, setelah 6 jam terbang dari jakarta, sayapun menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di negeri Down Under. #sujudsyukur. Alhamdulillah, proses imigrasi dan pengambilan bagasi semuanya berjalan lancar. Kesan imigrasi Australia yang konon katanya terkenal garang macam kak Ros tidak saya rasakan. Saya juga tidak diperiksa sama sekali saat melewati custom bandara karena saya memang tidak membawa satupun barang yang mesti di-declare seperti indomie, rendang, terasi, sambal goreng ati, dkk karena sedari awal ogah di-banyak-cincong-in. Lol. However, tujuan akhir saya bukan Sydney! Saya hanya transit 3 jam sebelum melanjutkan penerbangan ke kota impian sebenarnya, the most liveable city in the world, Melbourne.
        Musim di belahan bumi selatan adalah kebalikan dari belahan bumi bagian utara. Jadi kalau di Korea orang-orang lagi pada main drama “WINTER SONETA”, Oshin di Jepang lagi nyuci baju di sungai yang membeku, atau Eropa dan Amerika Utara yang lagi ngerayain white christmas, maka di bulan Januari ini negara-negara seperti Australia, New Zealand, Afrika Selatan, Argentina dan Chile lagi panas bedengkang disengat matahari musim panas. Apalagi Australia yang terkenal dengan musim panasnya yang “warrbiyasah” mengingat ini benua sebagian besar adalah daerah gurun dan dekat dengan lubang ozon di kutub selatan sehingga mendapat paparan sinar UV lebih tinggi dari daerah manapun di bumi ini. Saat pindah terminal untuk melanjutkan penerbangan ke Melbourne, hawa panas, meskipun masih pagi, sudah terasa cukup menyengat.
         Tapi Melbourne beda!
       
     Kota Melbourne terkenal dengan julukan “four seasons in one day”. Dan kondisi ini paling terasa saat summers. Meskipun panas bisa sangat menyengat hingga 40an derajat celcius, tapi suhu bisa tiba-tiba drop hingga belasan derajat dalam hitungan jam atau bahkan menit di musim panas ini. Jadi kalau dibilang musim panas itu selalu panas, ya nggak juga, karena akan ada variasi antara hari-hari bersuhu dingin seperti winters (belasan derajat), autumn atau spring (20an derajat), dan hari-hari yang memang panas warrbiyasah (30-40an derajat). Seperti saat saya mendarat di Melbourne Tullamarine Airport untuk pertama kalinya. Saya pikir suhunya sama kayak di Sydney. Tapi begitu keluar bandara, brrr... angin dingin dan cuaca berawan menyambut kedatangan kami. Saya yang seumur hidup selalu tinggal di daerah tropis dengan kisaran suhu harian 30 derajat celcius, dengan suhu 19 derajat celcius saat itu cukup membuat badan tipis saya menggigil. Padahal dua hari sebelumnya suhu sempat sampai 42 derajat celcius. Saya jadi misuh-misuh sendiri mikirin, kok ya summer dingin kayak gini sih? Gimana saat winter nanti? Bersambung.

Rabu, 05 Juli 2017

KILAS BALIK TERBANG DI TAHUN 2016

Jam kuntilanak low-cost airline
Penerbangan perdana di tahun 2016 adalah salah satu penerbangan paling bersejarah dalam hidup saya. Pasalnya, rangkaian tiga penerbangan beruntun mengantarkan saya merah mimpi untuk menempuh pendidikan di negeri kangguru selama 2 tahun. Selain penerbangan dengan “spesial purpose” ini, saya juga mencatatkan banyak rekor lain di antaranya terbang perdana dengan beberapa maskapai dan jenis pesawat tertentu. Penasaran seperti apa lengkapnya catatan penerbangan saya sepanjang tahun 2016? Berikut ulasan lengkapnya.

Ada total 17 penerbangan yang saya bukukan di tahun 2016. Sebagian besar adalah penerbangan domestik di Australia dengan maskapai setempat. Karena alasan kepindahan inilah saya untuk pertama kalinya mencicipi maskapai Qantas, Jetstar Australia, Tiger Australia, dan Virgin Australia. Menurut saya, tidak ada yang spesial dari maskapai-makapai ini. Pelayanan dan kondisi kabin masuk dalam kategori standar, tidak wah tapi juga tidak mengecewakan. Untuk low-cost airline Australia, kebanyakan pesawatnya juga jenis standar Airbus A320 berkapasitas 180 tempat duduk. Yang saya catat, harga tiket pesawat untuk low-cost airline di Australia sungguh benar-benar bikin mupeng. Meskipun tidak pernah benar-benar murah, mereka konsisten menggelar promo sepanjang musim yang menyebabkan kita kepingin sering jalan-jalan kapanpun dan ke manapun di Australia. Dari kota tempat tinggal saya yang strategis, Melbourne, tiket ke Sydney, Tasmania, dan Adelaide yang masing-masing hanya berjarak lebih kurang 1 jam penerbangan bisa didapat seharga 30 dollar Aussie ( 300 ribu rupiah) saja saat promo.
                 
Selalu nyaman transit di SIN
Di pertengahan tahun, saya mudik lebaran dan untuk pertama kalinya juga saya naik Air Asia X dengan pesawat wide body-nya Airbus A330-300 berkapasitas 377 penumpang dengan rute Melbourne-Kuala Lumpur.  Saat balik, saya mengambil maskapai dan rute berbeda yang lagi-lagi pertama kalinya bagi saya, yakni Malindo tujuan Kuala Lumpur-Perth. Cukup mengejutkan bahwa, meskipun dengan pesawat narrow body (Boeing 737-800), Malindo mampu memberikan pengalaman terbang yang berkesan. Lima jam terbang di pagi hari (jam terbang menarik) ditempuh dengan pelayanan full service yang cukup memuaskan, yakni bagasi included, makanan on board, AVOD, plus selimut. Saya jadi berpikir untuk naik Malindo lagi di lain kesempatan. Banyak yang bilang Malindo serupa dengan Batik Air yang belum pernah saya coba. Sampai akhirnya di akhir tahun 2016 itu, saya yang sudah lama penasaranpun mencoba terbang dengan Batik Air. Mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi terhadap Batik, tapi kalau boleh jujur, Garuda masih lebih nyaman.

SQ punya banyak pesawat segadang gedabak
Berikutnya, di akhir tahun ini juga saya mudik untuk kedua kalinya memanfaatkan reunion airfare dari sponsor beasiswa. Kali ini benar-benar rekor besar buat saya karena untuk pertama kalinya saya terbang dengan maskapai terkenal Singapore Airlines lengkap dengan pesawat segadang gedabaknya Airbus A380-800 berkapasitas 441 tempat duduk. Sesampainya di Changi, penerbangan dilanjutkan dengan maskapai Silk Air (anaknya Singapore Airlines) menuju Pekanbaru dengan pelayanan full service. Inipun maskapai yang baru pertama kali saya coba. Menang banyak deh pokoknya. Selain wide body-nya SQ dan Air Asia X, wide body lain yang saya coba adalah Qantas penerbangan Jakarta-Sydney dan Sydney-Melbourne di awal kedatangan saya ke Australia, keduanya dengan pesawat berjenis Boeing 330-200 berkapasitas 239 tempat duduk. Yang saya suka dari pesawat tipe ini adalah formasi tempat duduk 2-4-2 pada kabin ekonominya. Formasi ini membuat penumpangnya tidak ada yang “kejepit”.

Motonya: memanusiakan manusia (SIN)
Saat balik sehabis liburan saya kembali menggunakan rute yang sama yakni Pekanbaru-Singapore dengan Silk Air (pesawat Airbus A320) dan dilanjutkan dengan SQ (kali ini dengan pesawat super lonjong Boeing 777-300 ER berkapasitas 264 tempat duduk) menuju Melbourne. Tapi saya balik di Febuari 2017, jadi penerbangan ini sudah tidak masuk lagi catatan 2016. Tak pe lah. Ada perbedaan rasa yang saya catat, yakni saat terbang dari Melbourne ke Singapura, pelayanannya biasa saja. Tetapi saat balik (terbang dari homebase-nya di Singapura) barulah saya merasakan service SQ yang benar-benar patut diacungi jempol. Ada cacatan menarik setiap saya transit di Singapura. Dengan waktu transit yang hanya 5,5 jam, saya bela-belain nekat keluar imigrasi buat kabur ke pusat kota hanya untuk makan enak di daerah Bugis. Syukurnya MRT di Singapura predictable sehingga saya tidak khawatir tertinggal pesawat. Demikianlah rekam jejak penerbangan saya di tahun 2016. Perjalanan di tahun 2017 sudah dimulai di Januari 2017, perjalanan balik, dan liburan musim panas di Australia di bulan Febuari, and.... penerbangan-penerbangan selanjutnya yang siap membawa saya entah kemana. Nanti kalau ada kesempatan saya juga akan menyajikan rekapitulasi penerbangan 2017. In thrust we trust!